Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek online (ojol) hingga 15 persen memicu kekhawatiran sejumlah pihak. Kebijakan yang diungkapkan Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Aan Suhanan, ini dinilai bisa menjadi blunder besar di tengah daya beli masyarakat yang sedang melemah. Kenaikan tarif disebut bervariasi, antara 8 hingga 15 persen, tergantung zona wilayah layanan, dan tengah memasuki tahap finalisasi kajian.
Sejumlah pihak mengingatkan bahwa langkah ini berisiko memicu inflasi serta menurunkan jumlah penumpang. Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dan berpotensi mengurangi pesanan bagi driver. Menurutnya, pemerintah semestinya menekan potongan dari aplikator yang saat ini mencapai 20 persen, bukan justru membebani konsumen. “Penumpang bisa beralih ke transportasi alternatif seperti Transjakarta, sementara driver malah makin sulit mendapat order,” ujarnya.
Timboel menambahkan, ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur aplikator menunjukkan lemahnya keberpihakan negara terhadap pekerja informal seperti ojol. Ia menuntut Kementerian Ketenagakerjaan dan Kemenhub berani mengeluarkan regulasi tegas untuk menurunkan potongan aplikasi hingga 10 persen. “Pemerintah harusnya mengatur, bukan diatur. Lindungi kesejahteraan driver, bukan hanya keuntungan aplikator,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menilai akar persoalan bukan pada tarif, melainkan status hubungan kerja antara driver dan aplikator. Tanpa kejelasan hukum, tuntutan kenaikan tarif bisa terus terjadi tiap tahun dan justru membuat masyarakat jenuh. “Jika hubungan dianggap mitra, pemerintah wajib memperjelas hak dan kewajiban. Jika dianggap pekerja, aplikator wajib beri jaminan sosial dan THR,” ujarnya. Menurutnya, tanpa regulasi yang adil, kenaikan tarif hanya menjadi solusi semu yang memperburuk ekosistem transportasi daring di Indonesia.