Titik Terang > NASIONAL > Pernikahan Anak di Lombok Tengah Tuai Sorotan, Wamen PPPA: Budaya Bukan Alasan untuk Melanggar Hak Anak

Pernikahan Anak di Lombok Tengah Tuai Sorotan, Wamen PPPA: Budaya Bukan Alasan untuk Melanggar Hak Anak

Pernikahan antara SR (17), siswa SMK asal Desa Beraim, dan SMY (15), siswi SMP asal Desa Sukaraja, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), viral di media sosial dan memicu respons luas, termasuk dari Kepala Desa setempat hingga Wakil Menteri PPPA Veronica Tan. Kepala Desa Beraim, Lalu Atmaja, menyatakan bahwa pihaknya telah dua kali berupaya menggagalkan pernikahan tersebut melalui kepala dusun, namun tetap tidak diindahkan oleh keluarga kedua belah pihak. Bahkan prosesi adat nyongkolan tetap digelar meski sudah dilarang oleh pemerintah desa.

Menurut Atmaja, pernikahan ini awalnya dilakukan secara diam-diam tiga minggu sebelum video nyongkolan viral. Upaya pemisahan sempat dilakukan, namun SR kembali membawa SMY kabur ke Sumbawa selama dua hari. Saat keduanya kembali, keluarga pihak perempuan menolak untuk memisahkan karena khawatir timbulnya fitnah. Ia menegaskan bahwa pemerintah desa tidak diberi pemberitahuan resmi mengenai pernikahan tersebut dan larangan menggunakan alat musik dalam nyongkolan juga diabaikan.

Menanggapi hal ini, Wakil Menteri PPPA Veronica Tan menyampaikan keprihatinannya terhadap praktik perkawinan anak yang masih kerap terjadi di NTB, terutama yang dibalut dalam tradisi merarik atau kawin lari. Ia menegaskan bahwa budaya tidak boleh menjadi pembenaran untuk merampas hak anak atas pendidikan dan masa depan. “Realitanya, perkawinan anak justru menjadi pintu awal penderitaan. Anak-anak belum siap secara fisik dan mental,” ujarnya.

Senada dengan itu, Komisioner KPAI Ai Rahmayanti turut mengecam praktik ini dan mendesak agar semua pihak yang terlibat, termasuk tokoh masyarakat seperti imam desa atau penghulu yang menikahkan tanpa prosedur resmi, diberikan sanksi tegas. KPAI menegaskan bahwa pernikahan anak yang dilakukan di luar KUA dan tanpa dispensasi adalah bentuk pelanggaran hukum dan perlindungan anak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *