Presiden Prabowo Subianto terus menggaungkan efisiensi anggaran sebagai prioritas pemerintahannya. Namun, muncul pertanyaan kritis: mengapa efisiensi fiskal tidak dimulai dari struktur pemerintahan itu sendiri, khususnya dengan merampingkan kabinet yang saat ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia? Dengan lebih dari 30 menteri serta banyaknya wakil menteri, staf khusus, dan lembaga non-kementerian, struktur pemerintahan yang gemuk jelas berkontribusi terhadap beban anggaran negara.
Pengangkatan Deddy Corbuzier sebagai staf khusus Menteri Pertahanan di tengah upaya efisiensi justru menimbulkan ironi. Jika efisiensi benar-benar menjadi pijakan, seharusnya pemerintah lebih selektif dan transparan dalam pengangkatan pejabat. Kabinet yang lebih ramping tidak berarti penurunan kinerja, justru bisa meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan dan mempercepat koordinasi antarlembaga, seperti yang telah diterapkan di banyak negara maju.
Selama ini, efisiensi anggaran sering kali berdampak pada pemotongan subsidi atau program sosial yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Padahal, ada banyak pos pengeluaran lain yang bisa dioptimalkan tanpa membebani rakyat, salah satunya adalah birokrasi yang terlalu besar. Dengan memangkas kabinet, biaya operasional negara dapat dikurangi secara signifikan, dan anggaran yang dialokasikan untuk kementerian bisa dialihkan ke sektor yang lebih produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Namun, merampingkan kabinet bukanlah keputusan mudah karena adanya faktor politik. Dalam sistem pemerintahan koalisi, jabatan menteri sering kali dijadikan alat kompromi politik. Jika Prabowo ingin benar-benar menerapkan efisiensi anggaran secara konsisten, ia perlu mengambil langkah berani dengan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan politik. Perampingan kabinet tidak hanya menghemat anggaran, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, efektif, dan transparan.