Jakarta — Polemik empat pulau yang sempat dialihkan dari Aceh ke Sumatera Utara akhirnya diselesaikan melalui keputusan Presiden Prabowo Subianto. Kepastian tersebut menjadi sorotan nasional dan menjadi pelajaran penting bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Senator DPD RI KH Muhammad Nuh menyebut keputusan presiden sebagai langkah konstitusional yang patut dihormati semua pihak. Ia juga mengapresiasi sikap dewasa dua kepala daerah, Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumut Bobby Nasution, yang tetap menjaga komunikasi di tengah gejolak polemik batas wilayah.
Empat pulau yang disengketakan, yaitu Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil, sebelumnya sempat ditetapkan masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah melalui Kepmendagri No. 300.2.2‑2138 Tahun 2025. Namun, keputusan itu menimbulkan protes luas karena pulau-pulau tersebut secara historis dan administratif masuk wilayah Aceh Singkil.
Muhammad Nuh menekankan dua pelajaran penting dari peristiwa ini:
1. Pentingnya komunikasi yang tenang dan bermartabat antar pemerintah daerah dalam menyikapi polemik kewilayahan.
2. Urgensi uji publik dan kehati-hatian dalam penerbitan kebijakan menyangkut batas wilayah yang menyentuh identitas dan sejarah daerah.
Pulau-pulau tersebut memiliki posisi strategis, bukan hanya untuk perikanan, namun juga potensi ekonomi di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Karena itu, kesalahan administratif dalam penetapan wilayah menjadi persoalan serius yang dapat merugikan daerah dalam jangka panjang.
Presiden Prabowo resmi menetapkan kembalinya keempat pulau ke wilayah Aceh pada 17 Juni 2025. Sehari setelahnya, perjanjian revisi batas wilayah ditandatangani oleh kedua gubernur sebagai penegasan komitmen damai dan penyelesaian administratif.
Polemik ini diharapkan menjadi pengingat bagi Kemendagri untuk tidak mengulangi kelalaian serupa di masa depan.