Kebijakan yang Membuat Panik Rakyat
Bayangkan suatu hari Anda menerima surat dari Kejaksaan Negeri. Jantung berdegup kencang, pikiran berputar mencari tahu kesalahan apa yang telah dilakukan. Namun, setelah dibuka, ternyata itu hanya pemberitahuan bahwa Anda memiliki tunggakan iuran BPJS Kesehatan atau Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Lebih mengejutkan lagi, Anda merasa sudah membayar iuran tersebut.
Kejadian ini bukan sekadar anekdot individu, tetapi bagian dari fenomena yang semakin sering terjadi di Indonesia. Melalui mekanisme Surat Kuasa Khusus (SKK), BPJS Kesehatan dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) memberikan mandat kepada Kejaksaan Negeri untuk menagih tunggakan peserta. Praktik ini, meskipun memiliki dasar hukum, menimbulkan kekhawatiran mengenai ketepatan data, proporsionalitas kebijakan, dan dampak psikologis terhadap masyarakat.
Landasan Regulasi dan Potensi Penyimpangan
Secara hukum, BPJS Kesehatan memiliki kewajiban untuk menagih iuran tertunggak guna memastikan keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional. Dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yang mewajibkan peserta membayar iuran tepat waktu. Hal serupa berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sementara itu, Kejaksaan Negeri memiliki wewenang dalam bidang perdata dan tata usaha negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam konteks ini, kejaksaan bertindak sebagai pengacara negara yang dapat membantu badan hukum milik negara—termasuk BPJS Kesehatan dan BPKAD—dalam menyelesaikan perkara keuangan.
Namun, permasalahannya muncul dalam implementasi. Menggunakan kejaksaan untuk menagih tunggakan iuran BPJS dan PBB terhadap individu rakyat jelata menimbulkan kesan kriminalisasi utang. Padahal, keterlambatan pembayaran iuran BPJS atau PBB tidak bisa disamakan dengan tindak pidana. Ditambah lagi, fakta bahwa ada peserta yang menerima surat peringatan meskipun tidak memiliki tunggakan menunjukkan adanya potensi kesalahan dalam sistem pencatatan dan koordinasi antarinstansi.
Kegagalan Sistem atau Kelalaian Birokrasi?
Kasus salah kirim surat dari Kejari kepada peserta yang tidak memiliki tunggakan adalah contoh dari inkonsistensi data dalam birokrasi Indonesia. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya:
- Kesalahan Basis Data – BPJS Kesehatan dan BPKAD mungkin tidak memiliki sistem verifikasi yang akurat sebelum menyerahkan daftar penunggak kepada Kejari.
- Kurangnya Sinkronisasi Antarlembaga – Kejaksaan hanya menjalankan tugas berdasarkan data yang diberikan BPJS atau BPKAD tanpa melakukan validasi ulang.
- Kurang Transparan dalam Prosedur SKK – Tidak ada mekanisme yang jelas bagi masyarakat untuk mengonfirmasi atau membantah dugaan tunggakan sebelum mereka menerima surat peringatan.
Ketika birokrasi berjalan tanpa pengawasan yang ketat, masyarakat menjadi korban dari sistem yang tidak akurat. Mereka yang sudah membayar iuran pun bisa terkena dampaknya, menyebabkan kebingungan, stres, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga negara.
Haruskah Kejari Menjadi Penagih BPJS dan PBB?
Dari perspektif hukum, penunjukan Kejaksaan Negeri sebagai penagih BPJS dan PBB memang sah, tetapi dari perspektif keadilan dan kepatutan, kebijakan ini perlu ditinjau ulang.
Peran utama Kejari adalah sebagai penegak hukum, bukan penagih utang sosial. Jika tren ini dibiarkan, apakah selanjutnya institusi hukum akan digunakan untuk menagih tunggakan listrik, pajak kendaraan, atau cicilan lainnya?
Pemerintah harus menyadari bahwa menggunakan instrumen hukum yang keras untuk persoalan administratif bukanlah solusi yang bijak. Menjadikan Kejari sebagai “debt collector” untuk iuran kesehatan dan pajak justru mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan program jaminan sosial.
Solusi: Reformasi Kebijakan BPJS, PBB, dan Kejaksaan
Daripada melanjutkan praktik SKK yang membebani sistem hukum, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan:
- Peningkatan Transparansi Data – BPJS Kesehatan dan BPKAD harus memperbaiki sistem pencatatan dan memastikan bahwa data penunggak benar-benar valid sebelum ditindaklanjuti oleh pihak lain.
- Pendekatan Administratif yang Lebih Humanis – Alih-alih menggunakan Kejaksaan, BPJS dan BPKAD bisa memaksimalkan pendekatan komunikasi, seperti pengingat via SMS, email, atau insentif bagi peserta yang membayar tepat waktu.
- Kebijakan Fleksibel dalam Pembayaran – Memberikan opsi pembayaran bertahap bagi mereka yang kesulitan ekonomi, bukan langsung mengirimkan surat peringatan yang bernada ancaman.
- Pengawasan Independen – Perlu ada badan atau mekanisme yang mengawasi kerja sama antara BPJS, BPKAD, dan Kejaksaan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hak warga negara.
Kesimpulan: Negara untuk Rakyat, Bukan Sekadar Administrasi
Tujuan utama BPJS Kesehatan dan PBB adalah menjamin akses kesehatan dan pemenuhan kewajiban pajak secara adil bagi seluruh warga negara, bukan sekadar mengumpulkan iuran dan pendapatan daerah. Jika pengelolaan sistemnya lebih peduli pada administrasi dibanding pelayanan yang baik, maka jaminan kesehatan dan pajak justru menjadi beban, bukan solusi bagi rakyat.
Kejaksaan Negeri juga harus lebih selektif dalam menerima mandat SKK. Daripada digunakan sebagai alat penagih iuran dan pajak, lebih baik kejaksaan fokus pada tugas utama mereka dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi yang justru lebih merugikan negara.
Sebagai negara yang mengusung prinsip keadilan sosial, Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan bermartabat bagi rakyatnya.