Oleh : Putri Karina Sitepu 227005126
( Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)
Alasan pembaharuan hukum pidana di Indonesia didasarkan KUHP yang lama dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Urgensi yang dilakukan dalam pembaharuan sistem hukum pidana memperbaiki dari segi tindak pidana, pemidanaan, dan pertanggung jawaban untuk (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan kebutuhan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia.
Hukum pidana adat adalah perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan ketentraman dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Upaya untuk melakukan pembaruan hukum melalui upaya pembentukan suatu aturan hukum baru tidak dapat dilepaskan dari syarat pembentukan suatu peraturan perundang – undangan, yakni harus memperhatikan aspek filosofis, normatis, sosiologis atau praktis.
Keberadaan hukum pidana adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak diingkari lagi. Hukum Pidana Adat sebagai bagian hukum yang ada dalam masyarakat hadir dalam dua wujud, yaitu tertulis ataupun tidak tertulis. Hukum pidana adat yang hadir dalam bentuk formil menjelma menjadi sebuah keputusan negara atau pemerintah yang dituang dalam suatu produk hukum oleh negara dan pemerintah. KUHP baru terbukti menjaga hukum adat karena dapat melestarikan hukum adat di Indonesia.
Didalam KUHP terdapat pasal 2 ayat 1 yang berisi : tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatanya tidak diatur dalam Undang – Undang ini. Dalam artian, KUHP memiliki konsep pembaharuan untuk melestarikan masyarakat adat di Indoneisa. Penyebabnya karena jika ada kasus pelanggaran hukum adat maka hukumannya diperbolehkan. Hal ini dapat dicontohkan berlakunya hukum adat yang ada di Bali, Papua, Sumatera Utara, atau daerah lain yang hukum adatnya masih kuat.
Pengaturan hukum pidana adat dalam KUHP baru di satu pihak bertujuan untuk melindungi keberadaan hukum pidana adat, namun di pihak berimplikasi hal yang membahayakan eksistensi atau kepada kemunduran hukum pidana adat itu sendiri dikarenakan adanya persyaratan dan pembatasan berlakunya.
Masyarakat tidak perlu takut untuk menaati hukum adat di tempat yang masih kuat adat istiadatnya, karena mereka pasti akan menghormati penduduk asli dan aturan di tempat tersebut. Tidak ada seorangpun yang memanfaatkan hukum hidup KUHP untuk memeras uang wisatawan dengan alasan melanggar hukum adat. Pasalnya, Pasal 2 KUHP hanya berlaku jika pelanggaran tersebut tidak ada dalam KUHP dan tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Berbicara dengan persoalan terkait kontra terkait pengaturan hukum adat yang ada di dalam KUHP baru ini yaitu mengenai sanksi adat. Pasal 66 KUHP baru mengatur tentang Pidana Tambahan. Ayat (1) huruf f menyebutkan bahwa salah satu bentuk pidana tambahan adalah pemenuhan kewajiban adat setempat. Pengaturan ini menimbulkan berbagai konsekuensi. Pertama, penempatan pidana adat sebagai pidana tambahan mengakibatkan sanksi pidana adat bersifat subordinat, atau pelengkat saja, karena pada dasarnya pidana tambahan hanya bisa dijatuhkan bersamaan pidana pokok. Konsekuensi ini dapat timbul bahwa penempatan sebagai pidana tambahan, akan mengakibatkan penegakan deli adat dan sanksi adat bukan menjadi suatu keharusan (imperative) melainkan sebagai fakulatif, tergantung bagaimana cara hakim mengadili. Ketentuan ini juga mengisyaratkan bahwa penjatuhan sanksi pidana adat adalah melalui lembaga peradilan negara, bukan oleh masyarakat lagi atau melalui peradilan adat, sehingga bersifat otonom.