Titik Terang > ARTIKEL > Jadilah Pemimpin yang menerima kritikan

Jadilah Pemimpin yang menerima kritikan

Baru² ini saya berdiskusi kepemimpinan terkait seni mengatasi troublemaker (pembuat masalah) dalam organisasi. Saya sampaikan bahwa pemimpin hendaknya merespon tegas dan cepat terhadap troublemaker yang merugikan orang banyak secara konkrit. Misalnya orang yang suka menipu dengan modus membuat bisnis, atau orang yang suka pinjam duit dan tidak kembali, atau orang yang suka memarahi dan membully banyak orang.

Adapun troublemaker yang kerjanya suka mengkritik kita, sebagai pemimpin kita tidak perlu merespon. Kenapa? Karena mengkritik bukanlah persoalan konkrit, itu hanya opini. Menipu uang, memaki, membully, memukul, atau melecehkan orang lain adalah gangguan konkrit dan melanggar hukum sehingga bisa ditindak secara hukum. Kita perlu ambil tindakan hukum secara cepat dan tegas kepada orang yang melanggar hukum.

Sedangkan kritikan, dalam pandangan saya bukanlah pelanggaran hukum. Kritikan adalah opini. Itu sebabnya, responlah opini dengan opini pula. Jangan respon opini dengan tindakan hukum. Bagaimana seorang pemimpin merespon opini (kritikan) dengan opini? Caranya adalah dengan menyampaikan visi misi, cita-cita, nilai-nilai dan gagasan²nya. Opini lemah akan dikalahkan opini kuat. Kritik walau seberapa pedas dan tajamnya akan kalah dengan sosialisasi visi misi yang konsisten dari pemimpin.

Cara merespon kritik adalah dengan menyuarakan visi misi dan gagasan yang diikuti dengan konsistensi sikap menetapi nilai-nilai kebenaran. Jika itu telah dikerjakan pemimpin, maka waktu akan menjadi sahabat baginya. Seiring berjalannya waktu anggota akan semakin paham dan tertarik dengan visi dan karakter pemimpin. Seiring berjalannya waktu bahkan si pengkritik mungkin berubah. Atau seiring berjalannya waktu sangat mungkin si pengkritik memutuskan keluar dari organisasi dan masalah selesai dengan sendirinya.

Itu sebabnya, balaslah opini dengan opini, jangan membalas opini dengan tindakan hukum. Sekarang kita bayangkan nuansa organisasi dimana kritikan anggota dibalas dengan tindakan hukum. Anggota mengkritik kebijakan pemimpin, lalu pemimpin meresponnya dengan tindakan hukum seperti mengurangi gaji, menambah jam lembur, memecat, atau bahkan memenjarakan si anggota, apa yang terjadi? Waktu akan menjadi musuh pemimpin.

Waktu akan bertindak sebagai bom waktu dan hakim yang kelak akan mengakhiri karier kepemimpinan si pemimpin secara tragis. Lihat Fir’aun, dia adalah tipikal pemimpin yang merespon opini dengan tindakan hukum. Rakyatnya yang memiliki opini bahwa Fir’aun bukan Tuhan akan dibunuh. Dampaknya adalah organisasi bernama negara mesir yang dipimpin Fir’aun menjadi sarang korupsi dan kejahatan. Dan waktu bertindak menjadi bom waktu dan hakim yang kelak akan mengadili kebejatan Fir’aun melalui seorang Rasul bernama Musa.

Waktu itu teman bagi pemimpin yang arif; ia akan menampakkan keluhuran dan kejeniusan si pemimpin serta kebobrokan musuh² si pemimpin. Sebaliknya, waktu itu bom dan hakim bagi pemimpin zalim; ia akan menampakkan kebobrokan kepemimpinannya dan menunjukkan keluhuran serta kejeniusan musuh²nya. Ini adalah cara berpikir yang cerdas dan cara bertindak yang tepat, namun masalahnya tidak semua orang bisa bertindak seperti itu.

Pemimpin perlu memiliki kerendahan hati yang akan menuntunnya diam ketika dijelekkan. Kerendahan hati yang menuntunnya sabar dan tidak reaktif mengambil tindakan hukum terhadap pencelanya. Dan kerendahan hati yang menuntunnya sabar untuk tanpa letih menyuarakan visi dan gagasannya. Tanpa kerendahan hati, pemimpin pintar pun akan kehilangan nalarnya dan membuat keputusan bodoh. Apakah Fir’aun bodoh? Diduga tidak. Rendah kah IQ Fir’aun? Diduga tidak. Bodoh kah keputusan Fir’aun membunuh orang yang tak mengakui ketuhanannya? Sangat bodoh.

Sejarah membuktikan bahwa banyak diktator yang memiliki IQ tinggi. Sampai hari ini ada pemimpin negara di berbagai belahan dunia yang memiliki IQ level jenius, tetapi mengelola dan mentadbir negaranya bagai Fir’aun yang diktator. Aneh kan? IQ-nya sangat tinggi, tapi cara berpikir dan cara mengambil keputusannya sangat tidak pintar. Bagaimana bisa seorang dengan IQ level jenius melakukan tindakan bodoh? Miskinnya kerendahan hati, miskinnya akhlak mulia.

Itu sebabnya baru² ini saya menulis: Pintar itu bakat. Baik itu pilihan. Nalar (berakal) itu hasil. Orang yang pintar tapi tidak baik itu tak bernalar. Orang yang baik tapi tidak pintar itu bernalar. Dan orang yang pintar dan baik itu sangat bernalar. Kesimpulannya? Cerdas tidaknya manusia ditentukan oleh kebaikan hatinya, bukan level IQ-nya. Tinggi rendahnya nalar dan akal seseorang ditentukan oleh tinggi rendah kadar kesombongannya, bukan kemampuan analisis atau genetik orang pintar.

Leader’s business is decision-making. Kerja pemimpin itu adalah mengambil keputusan. Pemimpin itu dibayar untuk mengambil keputusan. Kunci sukses pengambilan keputusan adalah nalar atau akal. Dan orang baik tak mungkin tak bernalar/tak berakal. Orang pintar tapi jahat seperti Fir’aun hukumnya wajib bodoh, pasti tak berakal, pasti tak bernalar. IQ tinggi tak menyelematkannya dari kecanduan bodohnya suka membunuh pengkritiknya. Sebaliknya orang baik tapi tidak pintar itu pasti pintar; dia akan dituntun mengambil keputusan² pintar.

Bila kita renungkan, sebenarnya kehidupan ini adalah tentang pengambilan keputusan; dari yang sekecil-kecilnya seperti memutuskan bangun jam berapa sampai yang sebesar-besarnya seperti memutuskan menikah dengan siapa. Manusia yang akan sukses dalam pentas kehidupan adalah mereka yang dengan sengaja memilih menjadi orang baik yang rendah hati. Mereka akan dituntun oleh alam untuk menemukan pasangan yang tepat dan penasehat yang pintar. Waktu akan menjadi teman mereka yang akan mengharumkan nama mereka, menempah kualitas diri mereka dan membuat reputasi mereka berkilauan.

Panggung kepemimpinan, pentas kehidupan, tidak akan dimenangkan oleh orang jahat. Fir’aun, Haman, Qabil telah membuktikannya. Alquran mendokumentasikan begitu banyak diktator agar kita tidak meniru mereka. Alquran dari 1400 tahun lalu sampai hari ini tak bosan²nya berpesan pada kita agar berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan ketika datang orang fasik menyapa kita dengan perkataan menghina agar kita mengucapkan “salam” atau bersikap secara damai. Alquran dari dulu hingga sekarang dan sampai akhir masa tak bosan²nya mengajak kita menjadi orang berakal, orang bernalar dan orang pintar.

Kesimpulan akhir: Kehidupan ini mudah, bukan main mudahnya. Jadilah orang baik, engkau cerdas. Jadilah orang rendah hati, engkau bernalar. Jadilah jahat, engkau bodoh walau level IQ-mu jenius. Jadilah sombong, engkau tolol walau prestasi akademikmu tinggi. Sedangkan yang paling dahsyat ialah, baik hatinya dan dari lahir memang berbakat pintar, mereka itulah Rasul, Nabi, Auliya dan orang² pilihan. Wallahua’lam. (rhon)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *