Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, resmi ditangkap oleh kepolisian negaranya sendiri dan segera diterbangkan ke Den Haag, Belanda, untuk diserahkan ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Duterte dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan akibat kebijakan perang terhadap narkoba yang mengeksekusi ribuan pelaku tanpa proses hukum. Dunia internasional telah lama menyoroti kebijakan tersebut sebagai bentuk pembantaian sistematis terhadap rakyatnya sendiri.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, juga dinyatakan bertanggung jawab atas kejahatan perang terhadap warga sipil di Gaza, Palestina. Namun, tidak seperti Duterte, Netanyahu masih menjabat dan memiliki perlindungan internasional yang kuat. Amerika Serikat, sebagai sekutu strategis Israel, terus memberikan dukungan politik, finansial, dan militer, serta aktif menghambat upaya ICC untuk menyeret Netanyahu ke pengadilan.
Penangkapan Duterte mengungkap ketimpangan dalam sistem keadilan internasional. Saat masih berkuasa, Duterte sempat memiliki hubungan baik dengan Amerika Serikat, tetapi Filipina bukan prioritas utama dalam strategi geopolitik AS. Begitu ia lengser dan kehilangan pengaruh politik, ia tidak lagi memiliki perlindungan. Sementara itu, Netanyahu tetap kebal dari hukum internasional karena posisi Israel yang sangat penting dalam kepentingan geopolitik Amerika Serikat.
Duterte pernah mencoba menjaga keseimbangan hubungan dengan Rusia dan China, tetapi itu tidak cukup untuk menyelamatkannya dari jerat hukum ICC. Berbeda dengan Netanyahu yang terus mendapat perlindungan dari negara adidaya, Duterte kini menghadapi konsekuensi atas kebijakannya tanpa ada kekuatan besar yang membelanya. Peristiwa ini menegaskan bahwa keadilan internasional masih berjalan dengan standar ganda, di mana kekuatan geopolitik menentukan siapa yang bisa lolos dari hukuman dan siapa yang harus menghadapi pengadilan.